Kamis, 14 April 2016

DEMI SUAMIKU AKU MENJUAL DIRI



Mungkin terdengar gila, tapi begitulah kenyataannya. Aku turut suamiku merantau ke Jakarta. Kampung kami jauh di luar pulau Jawa. Di Jakarta tak satu pun sanak keluarga. Jadi kami benar-benar senasib sepenanggungan.
Suamiku bekerja di perusahaan swasta. Cuma karyawan biasa, bukan pejabat. Aku sendiri dulu memang pernah bekerja. Tapi setelah punya anak aku memutuskan jadi ibu rumah tangga saja. Apalagi sekarang anakku sudah dua. Untuk mengisi waktu senggang kadang aku cari komisian dengan menjual kerudung, busana muslim, sepatu wanita atau apa saja secara door to door. Aku tinggal di rumah kontrakan. Secara ekonomi memang hidup kami pas-pasan. Tapi aku bahagia, karena suamiku sangat menyayangi kami, istri dan anaknya.
Setahun yang lalu suamiku sakit keras dan cukup serius. Ia dirawat di rumah sakit besar karena Puskesmas merujuknya ke sana. Sebenarnya kami peserta BPJS, tapi kenyataannya kami tetap harus mengeluarkan biaya, karena tidak semua obat-obatan ditanggung oleh lembaga penjamin kesehatan itu. Aku bingung bukan kepalang. Dengan siapa bisa berbagi rasa ? Kepada siapa bisa minta tolong ?.  Keluargaku di kampung belum juga memberi bantuan, meski aku sudah mengabarkannya berulang-ulang. 

Aku sudah berusaha semampuku mencari uang untuk biaya suamiku. Kalung maskawin sudah kujual. Beberapa barang yang bisa kugadaikan juga sudah kugadaikan. Aku tak punya apa-apa lagi. Dan tak ada harapan bisa  pinjam pada siapa.  Aku hanya bisa menangis dan meratapi keadaan itu.
Dalam kekalutan, Lusi temanku memberi jalan. Tapi, ya Tuhan, tentunya jalan itu tidak dibenarkan siapa pun. Lusi menyarankan aku minta tolong sama seseorang yang bernama Jhon. Lusi pernah cerita tentang orang itu. Ia lelaki bule yang hidup membujang, dan seorang pebisnis yang berhasil. Lusi meyakinkanku kalau Jhon pasti bisa menolongku. Tapi syaratnya itu yang membuatku merinding, aku harus mau ditiduri lelaki itu.
Semula aku menolak. Tapi Lusi selalu mengingatkan betapa tidak mudah mendapatkan  uang cukup besar dalam waktu yang mendesak. Sedang si Jhon, “ Dia hanya minta dilayani …” begitu kata Lusi.  Kupikir benar, cari uang itu bukan main sulitnya, aku sudah merasakannya.
“ Sekarang tinggal masalah moral…itu tergantung kamu…” Kata Lusi.
Waktu itu aku belum memberi jawaban pada Lusi. Tapi perempuan itu berulang kali menyarankan aku seperti itu. Sampai akhirnya si Jhonnya sendiri menelponku. Aku bingung, sementara suamiku sedang menunggu perjuanganku  mendapatkan uang. Keselamatannya seolah bergantung pada usahaku. Aku kalut…, tapi ternyata menangis saja tak cukup.
Merasa hanya inilah jalan buatku, akhirnya aku menyerah. Aku terima saran Lusi. Aku nekad minta bantuan si Jhon, meski dengan resiko mengorbankan kehormatanku. 
“ Tunggu di cafe, nanti si Jhon menjemputmu ke sana...” Kata Lusi lewat telepon.
Lebih dari empat jam aku berada di kamar sebuah hotel berdua dengan lelaki bernama Jhon.  Aku pasrah pada apa yang dilakukan lelaki itu. Meski hatiku menolak, tapi secara biologis akhirnya  aku terpancing juga oleh ulahnya. Ternyata ia seorang jagoan”.  Ia sangat  santun memperlakukanku. Mungkin itu juga yang membuatku pasrah. Memang jujur saja, ia memberiku kepuasaan dan kesan yang dalam. Ia lebih hebat dari suamiku dalam urusan ranjang.
Setelah selesai, Si Jhon dengan penuh perhatian  mengantarkan aku pulang. Sejumlah uang telah mengisi tasku melebihi yang kuharapkan. Aku memang malu dan menyesal. Jangan ditanya lagi soal perasaan salah dan berdosa. Tapi aku merasa ini terpaksa. Aku ingin suamiku segera sembuh. Karena aku mencintainya.
Berkat ijin Tuhan Yang Maha Kuasa,  suamiku dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Bukan alang kepalang rasa bahagiaku. Aku mencoba berbohong  tentang sumber uang. Suamiku tampak sangat bersyukur atas jerih payahku. Sebenarnya aku ingin berterus terang, tapi aku takut.  Karena itu rahasia ini kupendam sendiri.
Hanya saja aku merasa berdosa setiap berkencan dengan suamiku. Aku merasa telah berkhianat padanya. Apalagi setiap kami bersetubuh, bayangan si Jhon muncul.  Memang secara naluri kadang aku merindukan lelaki itu dan terkesan dengan permainannya. Tapi segera aku sadar bahwa itu tak boleh.  Karena itu aku berusaha konsen pada suamiku. Aku tak boleh berkhianat lagi meski hanya sesaat berkhayal....*

Artikel lainnya : :
PARA WANITA ZOOFILIA
PENISTAAN TERHADAP PEREMPUAN
DIPLOMASI ASMARA CLEOPATRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar