Mungkin
terdengar gila, tapi begitulah kenyataannya. Aku turut suamiku merantau ke
Jakarta. Kampung kami jauh di luar pulau Jawa. Di Jakarta tak satu pun sanak
keluarga. Jadi kami benar-benar senasib sepenanggungan.
Suamiku bekerja
di perusahaan swasta. Cuma karyawan biasa, bukan pejabat. Aku sendiri dulu
memang pernah bekerja. Tapi setelah punya anak aku memutuskan jadi ibu rumah
tangga saja. Apalagi sekarang anakku sudah dua. Untuk mengisi waktu senggang
kadang aku cari komisian dengan menjual kerudung, busana muslim, sepatu wanita atau
apa saja secara door to door. Aku tinggal di rumah kontrakan. Secara ekonomi memang hidup
kami pas-pasan. Tapi aku bahagia, karena suamiku sangat menyayangi kami, istri dan
anaknya.
Setahun yang
lalu suamiku sakit keras dan cukup serius. Ia dirawat di rumah sakit besar
karena Puskesmas merujuknya ke sana. Sebenarnya kami peserta BPJS, tapi
kenyataannya kami tetap harus mengeluarkan biaya, karena tidak semua
obat-obatan ditanggung oleh lembaga penjamin kesehatan itu. Aku bingung bukan
kepalang. Dengan siapa bisa berbagi rasa ? Kepada siapa bisa minta tolong
?. Keluargaku di kampung belum juga
memberi bantuan, meski aku sudah mengabarkannya berulang-ulang.
Aku sudah berusaha semampuku mencari uang untuk biaya suamiku. Kalung maskawin sudah kujual. Beberapa barang yang bisa kugadaikan juga sudah kugadaikan. Aku tak punya apa-apa lagi. Dan tak ada harapan bisa pinjam pada siapa. Aku hanya bisa menangis dan meratapi keadaan itu.
Aku sudah berusaha semampuku mencari uang untuk biaya suamiku. Kalung maskawin sudah kujual. Beberapa barang yang bisa kugadaikan juga sudah kugadaikan. Aku tak punya apa-apa lagi. Dan tak ada harapan bisa pinjam pada siapa. Aku hanya bisa menangis dan meratapi keadaan itu.
Dalam
kekalutan, Lusi
temanku memberi jalan. Tapi, ya Tuhan, tentunya jalan itu tidak dibenarkan siapa pun. Lusi
menyarankan aku minta tolong sama seseorang yang bernama Jhon. Lusi pernah
cerita tentang orang itu. Ia lelaki bule yang hidup membujang, dan seorang
pebisnis yang berhasil. Lusi meyakinkanku kalau Jhon pasti bisa menolongku.
Tapi syaratnya itu yang membuatku merinding, aku harus mau ditiduri lelaki itu.
Semula aku
menolak. Tapi Lusi selalu mengingatkan betapa tidak mudah mendapatkan uang cukup besar dalam waktu yang mendesak.
Sedang si Jhon, “ Dia hanya minta dilayani …” begitu kata Lusi. Kupikir benar, cari uang itu bukan main
sulitnya, aku sudah merasakannya.
“ Sekarang
tinggal masalah moral…itu tergantung kamu…” Kata Lusi.
Waktu itu
aku belum memberi jawaban pada Lusi. Tapi perempuan itu berulang kali
menyarankan aku seperti itu. Sampai akhirnya si Jhonnya sendiri menelponku. Aku
bingung, sementara suamiku sedang menunggu perjuanganku mendapatkan uang. Keselamatannya seolah bergantung pada usahaku. Aku kalut…, tapi ternyata menangis saja tak cukup.
Merasa
hanya inilah jalan buatku, akhirnya aku menyerah. Aku terima saran Lusi. Aku
nekad minta bantuan si Jhon, meski dengan resiko mengorbankan
kehormatanku.
“
Tunggu di cafe, nanti si Jhon menjemputmu ke sana...” Kata Lusi lewat telepon.
Lebih dari empat jam aku berada di kamar
sebuah hotel berdua dengan lelaki bernama Jhon.
Aku pasrah pada apa yang dilakukan lelaki itu. Meski hatiku menolak,
tapi secara biologis akhirnya aku
terpancing juga oleh ulahnya. Ternyata ia seorang “jagoan”. Ia sangat
santun memperlakukanku. Mungkin itu juga yang membuatku pasrah. Memang jujur saja,
ia memberiku kepuasaan dan kesan yang dalam. Ia lebih hebat dari suamiku dalam
urusan ranjang.
Berkat ijin
Tuhan
Yang Maha Kuasa, suamiku dinyatakan sembuh dan
boleh pulang. Bukan alang kepalang rasa bahagiaku. Aku mencoba berbohong tentang sumber uang. Suamiku tampak sangat bersyukur atas
jerih payahku.
Sebenarnya aku ingin berterus terang, tapi aku takut. Karena itu rahasia ini kupendam sendiri.
Hanya saja
aku merasa berdosa setiap berkencan dengan suamiku. Aku merasa telah berkhianat
padanya. Apalagi setiap kami bersetubuh, bayangan si Jhon muncul. Memang secara naluri kadang aku
merindukan lelaki itu dan terkesan dengan permainannya. Tapi segera aku sadar bahwa itu tak
boleh. Karena itu aku berusaha konsen pada suamiku. Aku tak boleh
berkhianat lagi meski hanya sesaat berkhayal....*
Artikel lainnya : :
PARA WANITA ZOOFILIA
PENISTAAN TERHADAP PEREMPUAN
DIPLOMASI ASMARA CLEOPATRA
Artikel lainnya : :
PARA WANITA ZOOFILIA
PENISTAAN TERHADAP PEREMPUAN
DIPLOMASI ASMARA CLEOPATRA

Tidak ada komentar:
Posting Komentar