Senin, 04 Juni 2018

NYAI DAYANG SUMBI ( DONGENG SANGKURIANG / LEGENDA GUNUNG TANGKUBAN PERAHU )


Nama Nyai Dayang Sumbi, terdapat dalam “Sasakala Gunung Tangkuban Perahu”, yaitu cerita tentang asal-usul ( legenda ) gunung Tangkuban Perahu di Bandung Jawa Barat. Konon Nyai Dayang Sumbi adalah anak seekor celeng yang hamil setelah minum urin raja di sebuah hutan. Dikisahkan bahwa Nyai Dayang Sumbi berparas cantik dan tak mengalami ketuaan. Sehari-hari ia hidup di hutan hanya ditemani seekor anjing jantan bernama Si Tumang.
Pada suatu hari ketika ia sedang mengerjakan kebiasaannya – yaitu membuat kain tenun – salah satu alat tenunnya terjatuh ke tanah. Ia begitu malas untuk mengambilnya. Secara tidak sadar ia bergumam, “ Ah kalau saja ada yang mengambilkan benda itu, jika ia perempuan aku mau menjadikannya saudara, jika ia laki-laki aku mau menjadikannya suami…”
Si Tumang yang selalu ada di dekatnya, mendengar kata-kata itu. Ia bangkit dan mengambilkan alat yang terjatuh itu. Kemudian diserahkannya pada majikannya. Seraya berkata, “ Aku menagih janjimu…aku anjing jantan, jadikan aku suamimu…”
Nyai Dayang Sumbi kaget dengan permintaan Si Tumang itu. Tapi ia tak kuasa menolaknya. Terjadilah kehendak Dewata. Si Tumang mengawini Nyai Dayang Sumbi. Dan buah dari itu Nyai Dayang Sumbi hamil. Tiba saatnya lahirlah seorang bayi laki-laki, diberi nama Sangkuriang.
Beberapa waktu setelah Sangkuriang besar, anak itu disuruh ibunya berburu kijang ditemani Si Tumang. Sial tak seekor pun kijang dijumpainya. Ketika itu lewatlah seekor celeng yang tak lain ibunda Nyai Dayang Sumbi atau neneknya sendiri. Sangkuriang mencoba mengejarnya, tapi Si Tumang menghalanginya, sebab ia tahu siapa celeng itu.
Sangkuriang marah kepada Si Tumang. Anjing itu – yang nota bene bapaknya – dibunuh. Lalu diambil hatinya untuk diberikan pada ibunya. Nyai Dayang Sumbi marah ketika tahu bahwa hati hewan itu adalah hati Si Tumang. Ia kemudian memukul kepala anaknya hingga berdarah. Dan setelah itu mengusirnya. Sambil menangis Sangkuriang pergi tak tentu arah.
Waktu terus berlalu. Pada suatu hari - lama setelah kejadian itu – Nyai Dayang Sumbi bertemu dengan seorang ksatria yang tampan dan gagah. Kedua insan itu pun  saling jatuh cinta. Dan layaknya yang sedang kasmaran, mereka selalu berdua-dua dengan mesra. Tentu saja dengan janji untuk sehidup - semati.
Tapi alangkah kagetnya Nyai Dayang Sumbi ketika tahu bahwa ksatria itu adalah Sangkuriang, anaknya. Mereka tidak saling mengenal, karena dulu waktu Sangkuriang pergi ia masih kanak-kanak. Begitu pun Sangkuriang tak ingat ibunya karena Nyai Dayang Sumbi tetap muda dan cantik.  Kejadian itu bermula ketika Nyai Dayang Sumbi sedang menyisiri rambut Sangkuriang. Ia melihat bekas luka di kepala ksatria itu. Dan ketika ditanyakan, si ksatria menjelaskan riwayatnya, persis seperti kejadian yang diingat oleh Nyai Dayang Sumbi.
Sadar pada apa yang terjadi, Nyai Dayang Sumbi membatalkan kesepakatan dan janji-janji yang telah terucap. Ia pun menjelaskan pada kesatria itu bahwa mereka adalah ibu dan anaknya. Tapi Sangkuriang tak mau tahu. Ia telah terlanjur jatuh cinta. Setelah melalui perdebatan panjang dan Sangkuriang tetap mendesak, Nyai Dayang Sumbi akhirnya mengalah. Ia bersedia dinikahi, tapi dengan syarat Sangkuriang harus bisa membuat sebuah danau dan perahunya dalam waktu semalam.  Sangkuriang menyanggupinya.
Dibantu oleh para Guriang ( siluman  ), Sangkuriang berhasil membuat danau raksasa sebelum tengah malam. Ini artinya ia bakal bisa memenuhi persyaratan yang diajukan Nyai Dayang Sumbi. Tentu saja Nyai Dayang Sumbi kaget dan cemas melihat kejadian ini. Dengan pertolongan Dewata, ia berhasil mengelabui Sangkuriang. Dikibarkannya selendang yang ia pakai keatas. Keajaiban terjadi, seketika terbitlah fajar di ufuk Timur, yang menandakan hari menjelang pagi.
“Kau gagal memenuhi syarat anakku… kita batal..!” Seru Nyai Dayang Sumbi seraya lari menjauhi Sangkuriang.
Sangkuriang yang kala itu sedang menyelesaikan pembuatan perahu, kaget melihat kenyataan itu. Tapi ia pun sadar kalau ini hanyalah ulah Nyai Dayang Sumbi. Ia sangat murka melihat Nyai Dayang Sumbi telah meninggalkannya. Lalu perahu yang belum selesai itu ditendangnya kuat-kuat hingga terpelanting dan jatuh tertelungkup di pinggir danau. Setelah itu ia mengejar Nyai Dayang Sumbi…
Konon  menurut cerita, perahu itu menjadi gunung TangkubanPerahu ( = perahu tertelungkup ) dan danaunya adalah area yang sekarang menjadi daerah Bandung. Menurut kepurbakalaan , memang daerah Bandung adalah bekas sebuah danau raksasa pada masa jauh sebelum pra sejarah…..*

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM

Minggu, 03 Juni 2018

SANG WAJRA, PUTRI DYAH PITALOKA


Pada abad ke 14 Masehi Kerajaan Sunda berpusat di Kawali. Adalah Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang saat itu berkuasa, mempunyai seorang putri remaja bernama Dyah Pitaloka, atau disebut juga Citraresmi. Begitu cantik sang putri ini. Di usianya yang baru 18 tahun, ia bagaikan bunga yang semerbak mekar-mewangi. Orang pun menjulukinya “wajra“, artinya permata. 

Kecantikan Sang Wajra tercium oleh Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit yang kala itu tengah melebarkan kekuasaannya di Nusantara. Sebenarnya penguasa Majapahit masih terkait tali persaudaraan dengan penguasa Sunda. Tapi hubungan mereka kurang harmonis. Rupanya sekalian untuk alasan politis, Hayam Wuruk yang tertarik oleh permata Kerajaan Sunda itu, melamar Sang Putri untuk dijadikan permaisuri. Kebetulan Sang Raja Sunda menerimanya. 

Singkat kata, terjadilah perundingan antara utusan Majapahit dengan pihak Kerajaan Sunda tentang teknis dan tata cara pernikahan. Disepakati oleh kedua belah pihak, bahwa Putri Dyah akan diantarkan oleh Raja Sunda ke gerbang kerajaan Majapahit, kemudian di sana Raja Hayam Wuruk akan menyambutnya dengan upacara pengantin kerajaan. 

Tiba pada waktu yang ditentukan, berangkatlah rombongan Kerajaan Sunda mengantarkan Putri Dyah Pitaloka ke Majapahit. Di dalam rombongan itu terdapat sang ayahanda Prabu Linggabuana dan kerabat kerajaan, serta para pembesar. Jumlah mereka tidak sampai seratus orang. Bahkan tidak pula dikawal oleh prajurit angkatan perang. Keberangkatannya murni untuk urusan pernikahan. 

Di alun-alun Bubat sebelah utara Trowulan – wilayah Majapahit- rombongan membuat pesanggrahan menanti penyambutan dari Raja Hayam Wuruk. Akan tetapi apa yang terjadi ? Mahapatih Gajah Mada yang merasa telah berjasa pada Majapahit, dan sedang nafsu-nafsunya melakukan penaklukan terhadap kerajaan lain, menganggap inilah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ia membuat ulah dengan memerintahkan Raja Sunda agar menyerahkan Putri Dyah sebagai upeti, tanda Kerajaan Sunda takluk kepada Majapahit. Ia juga menggertak akan membunuh semuanya. Seraya menunjuk angkatan perang Majapahit yang sudah siap menggempur. 

Raja Sunda merasa tersinggung dan terhina. Ia sadar, bukan saja harga dirinya yang  dipertaruhkan, tapi juga kehormatan Kerajaan Sunda dan rakyat Sunda secara keseluruhan. Karena itu ia memilih melawan dan mati. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Sekejap saja pasukan Majapahit berhasil membinasakan rombongan pengantin itu. Raja Sunda Prabu Linggabuana dan rombongannya gugur bersimbah darah.  

Putri Dyah Pitaloka yang mengerti akan duduk persoalan, marah ditengah kedukaannya menyaksikan pembantaian pasukan Majapahit atas keluarga dan rombongannya. Ia membenci Majapahit dan tak sudi jadi upeti sebagaimana keinginan Gajah Mada. Ia pun kemudian melawan dengan cara bunuh diri. Ia lebih memilih kehormatan, dari pada hidup dengan kehinaan. 

Konon binasalah semua rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda itu. Prabu Hayam Wuruk sangat berduka dan menyesali kejadian ini. Sebagai rasa dukanya yang dalam, ia sendiri yang memperabukan jenazah Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka. Ia pun minta maaf pada pihak Kerajaan Sunda. Sementara itu keluarga Kerajaan Majapahit mengutuk keras Patih Gajah Mada. Patih yang jumawa ini pun sempat kabur dari kerajaan… 

Menurut sumber, kejadian ini disebut “Perang Bubat”,  terjadi pada tahun 1357 Masehi. Dan ceriteranya tersebar ke berbagai negara, sehingga nama  Sang Prabu Maharaja Linggabuana terkenal dan terpuji. Sejak itu beliau disebut Prabu Wangi. Artinya raja yang namanya harum - mewangi….*

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM

Selasa, 29 Mei 2018

ROMANTIKA INGGIT-SOEKARNO


Bagi bangsa Indonesia, Bung Karno atau nama lengkapnya Ir.Soekarno adalah Bapak Bangsa. Beliau bukan saja Presiden Pertama Republik Indonesia, melainkan juga tokoh pejuang, Proklamator Kemerdekaan, dan salah seorang pendiri negeri ini. Disamping beliau juga adalah Pemimpin Besar yang kharismatik.

Akan tetapi mungkin tak banyak yang tahu, bahwa sukses gemilang Soekarno di pentas politik, pada awalnya tak lepas dari andil seorang wanita. Dialah Inggit Garnasih, istri Soekarno yang kedua, pada masa pergerakan merintis kemerdekaan Indonesia.

Inggit Garnasih lahir pada tanggal 17 Pebruari 1888, di desa Kamasan Banjaran Bandung. Putri dari pasangan Bapak Arjipan dengan Ibu Amsi. Pada masa kecil dia bernama Garnasih. Dia adalah gadis tercantik di desanya yang banyak disukai para pria. Konon mereka sangat senang jika Garnasih memberinya senyuman. Dan untuk itu tak segan menghadiahi Garnasih dengan uang seringgit. Dari kata seringgit itu lahirlah julukan “ Si Ringgit “ untuk Garnasih, yang kemudian menjadi “ inggit ”, dan selanjutnya diterapkan didepan namanya menjadi Inggit Garnasih.

Pada tahun 1900 saat Inggit Garnasih berusia 12 tahun, ia  dinikahkan dengan seorang Patih Kantor Residen Belanda bernama Nata Atmaja. Namun perkawinannya itu hanya berumur empat tahun. Ia kemudian menikah lagi dengan saudagar mebel bernama H.Sanusi. Rumah tangganya sempat berjalan mulus. Namun kemudian retak, gara-gara H.Sanusi sering keluyuran dan asyik di meja bilyar. Inggit kesepian sendiri di rumah.

Dalam pada itu datanglah seorang pemuda untuk kost di rumah Inggit. Pemuda itu ialah Soekarno dari Surabaya. Sebenarnya Soekarno datang dengan istrinya, Siti Utari putri HOS Tjokroaminoto - Pemimpin Sarekat Islam di Surabaya - namun karena tidak harmonis, Utari kemudian dicerai dan dikembalikan kepada orang tuanya. Tinggalah Soekarno sendiri kost di rumah Inggit. Adapun keperluan Soekarno di Bandung – tempat dimana rumah Inggit berada – adalah untuk sekolah di Technische Hoogeschool  ( sekarang Institut Teknologi Bandung ). H.Sanusi-lah yang membawanya ke rumah Inggit. Karena ia teman HOS Tjokroamonito, sesama orang Sarekat Islam.

Adalah wajar jika kemudian Inggit dan Soekarno saling tertarik. Inggit yang cantik dan keibuan kecewa dengan ulah suami yang seolah tidak memperhatikan. Sementara Soekarno yang tampan dan cerdas kesepian setelah bercerai dengan istrinya. Di sisi lain H. Sanusi sering tidak di rumah. Maka kesempatan Inggit dan Soekarno berduaan di rumah, memberi peluang untuk tumbuhnya asmara.  Diam-diam Inggit pun menjalin cinta dengan Soekarno.

Pada tahun 1923, Inggit bercerai dengan H.Sanusi. Kesempatan ini digunakan Inggit dan Soekarno untuk segera menikah. Maka pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 24 Maret 1923, Inggit dan Soekarno menikah. Saat itu usia Inggit 35 tahun dan Soekarno 22 tahun. H. Sanusi yang rupanya masih menaruh hati pada Inggit,  membuat perjanjian tertulis dengan Soekarno. Isinya menyatakan bahwa  jika  dalam 10 bulan Soekarno menelantarkan Inggit atau menyakitinya, maka Inggit harus dikembalikan kepada H. Sanusi.

Secara moril Inggit bahagia berumah tangga dengan Soekarno, karena Soekarno menyayanginya. Namun secara materil, ada yang berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan Inggit semasa dengan H.Sanusi. Waktu itu segala kebutuhan rumah tangga dicukupi oleh H.Sanusi, kini Inggitlah yang harus lebih berperan mencari nafkah, karena Soekarno masih fokus dengan studynya. Untuk itu Inggit berjualan jamu dan bedak hasil produksinya sendiri.

Pada tahun 1926 Soekarno selesai studynya dengan gelar Insinyur. Ia kemudian terjun ke kancah politik yang memang telah digelutinya sejak di bangku sekolah. Waktu itu kesadaran untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan Belanda sudah berkembang di orang-orang bumiputra, termasuk Soekarno. Soekarno yang memang berbakat dalam hal itu diakui kepiawaiannya. Ia berhasil mendirikan partai sebagai wadah perjuangan, yang kemudian membuat Pemerintah Kolonial Belanda merasa terusik.

Sebagai istri yang setia dan cinta pada suami, Inggit yang nota bene bukan wanita sekolahan, memahami keinginanan dan sepak terjang Soekarno. Ia mendukung sepenuhnya pergerakan yang dilakukan Soekarno dan kawan-kawannya.  Ia merelakan rumahnya dijadikan tempat pertemuan dan pembicaraan politik. Bahkan kadang-kadang ia pun turut serta didalamnya. Ketika Soekarno ditangkap Pemerintah Kolonial, ia setia membesukinya ke penjara menjadi kurir, membawakan buku-buku.  Dan yang tak kalah pentingnya memberikan dorongan moril – materil, serta mengobarkan semangat kepada sang suami.

Pada tahun 1931Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores.Inggit dengan setia mendampingi Soekarno di pembuangan. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan penuh penderitaan. Dari Ende, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu karena sakit. Inggit tetap setia mendampingi. Begitulah bertahun-tahun Inggit hidup di pembuangan menemani suami tercinta. Baginya, berada di sisi Soekarno adalah sebuah kebahagiaan, meski dalam keadaan sesulit dan sepahit apa pun.

Akan tetapi badai pun akhirnya datang menerpa. Hati Inggit terguncang dan sakit, ketika di  Bengkulu Soekarno kepincut seorang gadis cantik yang dikemudian hari bernama Fatmawati. Gadis ini sebenarnya sudah diperlakukan seperti  anak oleh Inggit. Usianya 22 tahun lebih muda dari Soekarno. Dengan alasan ingin punya anak, Soekarno minta ijin kepada Inggit untuk menikahi gadis ini. Inggit menolak, bagaimana pun ia tak mau Soekarno berbagi cinta.

Soekarno tetap mendesak meski Inggit bersikeras tak  mau dimadu. Inggit  memberi  pilihan : tetap bersamanya atau bercerai. Ternyata Soekarno memilih bercerai. Sejak itu retaklah rumah tangga Inggit yang dibangun begitu lama dengan banyak pengorbanan. Sekembalinya di Bandung pada tahun 1943, Inggit dicerai oleh Soekarno.

Seperti yang tercatat dalam sejarah, tahun 1945 setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dengan Fatmawati sebagai Ibu Negara-nya. Waktu itu Inggit Garnasih hidup dengan anak angkatnya, karena ia tak dikarunia keturunan. Ia kembali berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konon selama jadi Presiden, Soekarno pernah sekali  ( tahun 1960 )  mengunjunginya dan minta maaf. Begitu pun dengan Fatmawati. Inggit mengatakan ia sudah memaafkannya sejak dulu.

Inggit Garnasih wafat pada tanggal 13 April 1984  dalam usia 96 tahun. Sebelumnya ia sempat melayat Soekarno ketika mantan suaminya itu wafat tahun 1970. Sebagai penghormatan dari negara, Inggit menerima  “ Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan”  dari Presiden Soekarno ( tanggal 17 Agustus 1961 ), dan “ Bintang Mahaputra Utama “ dari Presiden Soeharto ( 11-8-1997 ). Dan untuk mengenangnya, nama jalan di depan  rumahnya diganti dari Jalan Ciateul menjadi Jalan Inggit Garnasih…*

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM
Disarikan dari berbagai sumber.

KEN DEDES SANG NARESWARI


Patung yang anggun ini diklaim sebagai patung Ken Dedes, meski ada juga yang menyanggahnya. Siapa Ken Dedes ? Nama Ken Dedes dikaitkan dengan  Ken Arok,  pendiri kerajaan Tumapel di Jawa Timur pada abad ke 13 Masehi, tepatnya tahun 1222. Konon nama Ken Dedes tidak ada dalam bukti peninggalan sejarah. Nama ini hanya ada dalam pararaton, yaitu cerita kuno semacam pantun atau dongengan. Apa yang menarik dari Ken Dedes ? Ternyata ia seorang wanita yang merupakan  leluhur raja-raja penguasa di Jawa.

Menurut pararton itu, Ken Dedes adalah wanita cantik putri seorang pendeta Budha bernama Empu Purwa dari desa Panawijen. Pada suatu hari ketika ia sedang menunggui rumah, karena sang ayah pergi bersemedi, datanglah tamu dari Tumapel. Tamu itu tak lain seorang  Akuwu,  bernama Tunggul Ametung.

Melihat Ken Dedes yang  cantik jelita dan masih belia, Tunggul Ametung langsung tertarik dan jatuh hati. Ia kemudian menyatakan ingin melamar bidadari Panawijen itu. Ken Dedes menolak, bukan saja karena Tunggul Ametung sudah tua, tapi juga karena ia harus menunggu sang ayahanda untuk memnta restu. Tapi Tunggul Ametung tak sabar. Ia memaksa dan nekad menculik Ken Dedes. Putri itu  dibawanya ke Tumapel, dan dinikahi, meski yang bersangkutan tak sudi. 

Dalam pada itu tersebutlah seorang pemuda bernama Ken Arok.  Pemuda ini seorang berandalan yang bertabiat buruk. Ia seorang penjudi, perampok, dan pengacau. Tunggul Ametung sebagai penguasa yang daerahnya diganggu, kewalahan menanganinya. Untunglah Ken Arok dapat “dijinakkan” oleh seorang pendeta bernama Lohgawe. Atas permintaan pendeta itu, Ken Arok kemudian mengabdikan diri pada Tunggul Ametung. Dan selanjutnya ia tinggal di lingkungan keakuwuan. 

Dengan hadirnya Ken Arok,  otomatis terjadi pertemuan antara Ken Dedes dengan ponggawa suaminya itu. Tapi karena status sosial,  Ken Dedes tidak begitu hirau. Sebaliknya Ken Arok jadi bertepuk tangan sendiri, karena ia tertarik dan jatuh cinta. Ibarat peribahasa pungguk merindukan bulan.

Pada suatu hari terjadilah hal yang dianggap luar biasa oleh Ken Arok. Waktu itu ia sedang berjaga menjalankan tugasnya sehari-hari. Tiba-tiba datanglah Ken Dedes bersama Tunggul Ametung baru pulang dari bepergian naik kereta kencana. Ketika Ken Dedes turun dari kereta, kainnya tersingkap sehingga betisnya tampak dan terlihat jelas oleh Ken Arok. Ken Arok terpana, bukan saja karena betis itu indah, tapi juga dari betis itu terpancar cahaya  yang menyilaukan. Sesuatu yang sungguh  menakjubkan.

Pengalaman ini diceritakan oleh Ken Arok kepada Pendeta Lohgawe. Kata Pendeta Lohgawe, betis yang bercahaya itu menandakan bahwa Ken Dedes adalah seorang Putri Nareswari.  Artinya, siapa pun yang menjadi suaminya bakal menjadi raja yang berkuasa.

Mendengar penjelasan ini timbulah motivasi dan niat jahat Ken Arok. Ia ingin merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Caranya apa lagi kalau bukan membunuh majikannya itu. Untuk niatnya ini ia memesan keris kepada Empu Gandring. Konon menurut pararaton, dengan keris buatan Empu Gandring itu Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung lewat cara-cara licik dan licin. Dan akhirna tercapailah keinginannya,  Ken Arok berhasil mempersunting Ken Dedes sebagai istrinya. 

Benar kata Pendeta Lohgawe, setelah menikahi Ken Dedes, Ken Arok berubah nasibnya. Mula-mula ia berhasil menjadi Akuwu Tumapel menggantikan Tunggul Ametung. Setelah itu ia mendirikan kerajaan Tumapel, dan ia sendiri yang bertakhta dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Terakhir ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya, dengan menaklukan kerajaan Daha ( Kediri ) yang selama ini menguasai Tumapel. Lengkaplah apa yang dicita-citakan Ken Arok.

Dari pernikahannya dengan Ken Arok, Ken Dedes mempunyai tiga orang putra dan seorang putri. Sedangkan dari Tunggul Ametung mempunyai seorang putra bernama Anusapati. Seperti yang dicatat sejarah, Tumapel kemudian dikenal dengan nama Singhasari dengan rajanya Kertanegara. Singhasari kemudian tumbang pada tahun 1292 akibat kalah perang.  Dan setelah itu munculah Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya. Sejarah juga mencatat Majapahit tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa di Nusantara. Nah, raja-raja penguasa itu semuanya keturunan Ken Dedes…* 

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM