Pada abad ke 14 Masehi Kerajaan Sunda berpusat di Kawali. Adalah
Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang saat itu berkuasa, mempunyai seorang
putri remaja bernama Dyah Pitaloka, atau disebut juga Citraresmi. Begitu cantik sang putri ini.
Di usianya yang baru 18 tahun, ia bagaikan bunga yang semerbak mekar-mewangi. Orang
pun menjulukinya “wajra“, artinya permata.
Kecantikan Sang Wajra tercium oleh Prabu Hayam Wuruk, raja
Majapahit yang kala itu tengah melebarkan kekuasaannya di Nusantara. Sebenarnya
penguasa Majapahit masih terkait tali persaudaraan dengan penguasa Sunda. Tapi hubungan
mereka kurang harmonis. Rupanya sekalian untuk alasan politis, Hayam Wuruk yang
tertarik oleh permata Kerajaan Sunda itu, melamar Sang Putri untuk dijadikan permaisuri.
Kebetulan Sang Raja Sunda menerimanya.
Singkat kata, terjadilah perundingan antara utusan Majapahit dengan
pihak Kerajaan Sunda tentang teknis dan tata cara pernikahan. Disepakati oleh kedua
belah pihak, bahwa Putri Dyah akan diantarkan oleh Raja Sunda ke gerbang kerajaan
Majapahit, kemudian di sana Raja Hayam Wuruk akan menyambutnya dengan upacara pengantin
kerajaan.
Tiba pada waktu yang ditentukan, berangkatlah rombongan Kerajaan
Sunda mengantarkan Putri Dyah Pitaloka ke Majapahit. Di dalam rombongan itu terdapat
sang ayahanda Prabu Linggabuana dan kerabat kerajaan, serta para pembesar.
Jumlah mereka tidak sampai seratus orang. Bahkan tidak pula dikawal oleh prajurit
angkatan perang. Keberangkatannya murni untuk urusan pernikahan.
Di alun-alun Bubat sebelah utara Trowulan – wilayah Majapahit-
rombongan membuat pesanggrahan menanti penyambutan dari Raja Hayam Wuruk. Akan
tetapi apa yang terjadi ? Mahapatih Gajah Mada yang merasa telah
berjasa pada Majapahit, dan sedang nafsu-nafsunya melakukan penaklukan terhadap
kerajaan lain, menganggap inilah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ia
membuat ulah dengan memerintahkan Raja Sunda agar menyerahkan Putri Dyah sebagai
upeti, tanda Kerajaan Sunda takluk kepada Majapahit. Ia juga menggertak akan membunuh
semuanya. Seraya menunjuk angkatan perang Majapahit yang sudah siap menggempur.
Raja Sunda merasa tersinggung dan terhina. Ia sadar, bukan saja
harga dirinya yang dipertaruhkan, tapi juga
kehormatan Kerajaan Sunda dan rakyat Sunda secara keseluruhan. Karena itu ia memilih
melawan dan mati. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Sekejap
saja pasukan Majapahit berhasil membinasakan rombongan pengantin itu. Raja
Sunda Prabu Linggabuana dan rombongannya gugur bersimbah darah.
Putri Dyah Pitaloka yang mengerti akan duduk persoalan, marah
ditengah kedukaannya menyaksikan pembantaian pasukan Majapahit atas keluarga dan
rombongannya. Ia membenci Majapahit dan tak sudi jadi upeti sebagaimana keinginan
Gajah Mada. Ia pun kemudian melawan dengan cara bunuh diri. Ia lebih memilih kehormatan,
dari pada hidup dengan kehinaan.
Konon binasalah semua rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda
itu. Prabu Hayam Wuruk sangat berduka dan menyesali kejadian ini. Sebagai rasa
dukanya yang dalam, ia sendiri yang memperabukan jenazah Raja Sunda dan Putri Dyah
Pitaloka. Ia pun minta maaf pada pihak Kerajaan Sunda. Sementara itu keluarga Kerajaan
Majapahit mengutuk keras Patih Gajah Mada. Patih yang jumawa ini pun sempat kabur
dari kerajaan…
Menurut sumber, kejadian ini disebut “Perang Bubat”, terjadi pada tahun 1357 Masehi. Dan ceriteranya tersebar ke
berbagai negara, sehingga nama Sang Prabu Maharaja Linggabuana
terkenal dan terpuji. Sejak itu beliau disebut Prabu Wangi. Artinya raja
yang namanya harum - mewangi….*
SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar