Minggu, 03 Juni 2018

SANG WAJRA, PUTRI DYAH PITALOKA


Pada abad ke 14 Masehi Kerajaan Sunda berpusat di Kawali. Adalah Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang saat itu berkuasa, mempunyai seorang putri remaja bernama Dyah Pitaloka, atau disebut juga Citraresmi. Begitu cantik sang putri ini. Di usianya yang baru 18 tahun, ia bagaikan bunga yang semerbak mekar-mewangi. Orang pun menjulukinya “wajra“, artinya permata. 

Kecantikan Sang Wajra tercium oleh Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit yang kala itu tengah melebarkan kekuasaannya di Nusantara. Sebenarnya penguasa Majapahit masih terkait tali persaudaraan dengan penguasa Sunda. Tapi hubungan mereka kurang harmonis. Rupanya sekalian untuk alasan politis, Hayam Wuruk yang tertarik oleh permata Kerajaan Sunda itu, melamar Sang Putri untuk dijadikan permaisuri. Kebetulan Sang Raja Sunda menerimanya. 

Singkat kata, terjadilah perundingan antara utusan Majapahit dengan pihak Kerajaan Sunda tentang teknis dan tata cara pernikahan. Disepakati oleh kedua belah pihak, bahwa Putri Dyah akan diantarkan oleh Raja Sunda ke gerbang kerajaan Majapahit, kemudian di sana Raja Hayam Wuruk akan menyambutnya dengan upacara pengantin kerajaan. 

Tiba pada waktu yang ditentukan, berangkatlah rombongan Kerajaan Sunda mengantarkan Putri Dyah Pitaloka ke Majapahit. Di dalam rombongan itu terdapat sang ayahanda Prabu Linggabuana dan kerabat kerajaan, serta para pembesar. Jumlah mereka tidak sampai seratus orang. Bahkan tidak pula dikawal oleh prajurit angkatan perang. Keberangkatannya murni untuk urusan pernikahan. 

Di alun-alun Bubat sebelah utara Trowulan – wilayah Majapahit- rombongan membuat pesanggrahan menanti penyambutan dari Raja Hayam Wuruk. Akan tetapi apa yang terjadi ? Mahapatih Gajah Mada yang merasa telah berjasa pada Majapahit, dan sedang nafsu-nafsunya melakukan penaklukan terhadap kerajaan lain, menganggap inilah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ia membuat ulah dengan memerintahkan Raja Sunda agar menyerahkan Putri Dyah sebagai upeti, tanda Kerajaan Sunda takluk kepada Majapahit. Ia juga menggertak akan membunuh semuanya. Seraya menunjuk angkatan perang Majapahit yang sudah siap menggempur. 

Raja Sunda merasa tersinggung dan terhina. Ia sadar, bukan saja harga dirinya yang  dipertaruhkan, tapi juga kehormatan Kerajaan Sunda dan rakyat Sunda secara keseluruhan. Karena itu ia memilih melawan dan mati. Maka terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Sekejap saja pasukan Majapahit berhasil membinasakan rombongan pengantin itu. Raja Sunda Prabu Linggabuana dan rombongannya gugur bersimbah darah.  

Putri Dyah Pitaloka yang mengerti akan duduk persoalan, marah ditengah kedukaannya menyaksikan pembantaian pasukan Majapahit atas keluarga dan rombongannya. Ia membenci Majapahit dan tak sudi jadi upeti sebagaimana keinginan Gajah Mada. Ia pun kemudian melawan dengan cara bunuh diri. Ia lebih memilih kehormatan, dari pada hidup dengan kehinaan. 

Konon binasalah semua rombongan pengantin dari Kerajaan Sunda itu. Prabu Hayam Wuruk sangat berduka dan menyesali kejadian ini. Sebagai rasa dukanya yang dalam, ia sendiri yang memperabukan jenazah Raja Sunda dan Putri Dyah Pitaloka. Ia pun minta maaf pada pihak Kerajaan Sunda. Sementara itu keluarga Kerajaan Majapahit mengutuk keras Patih Gajah Mada. Patih yang jumawa ini pun sempat kabur dari kerajaan… 

Menurut sumber, kejadian ini disebut “Perang Bubat”,  terjadi pada tahun 1357 Masehi. Dan ceriteranya tersebar ke berbagai negara, sehingga nama  Sang Prabu Maharaja Linggabuana terkenal dan terpuji. Sejak itu beliau disebut Prabu Wangi. Artinya raja yang namanya harum - mewangi….*

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar