Selasa, 29 Mei 2018

ROMANTIKA INGGIT-SOEKARNO


Bagi bangsa Indonesia, Bung Karno atau nama lengkapnya Ir.Soekarno adalah Bapak Bangsa. Beliau bukan saja Presiden Pertama Republik Indonesia, melainkan juga tokoh pejuang, Proklamator Kemerdekaan, dan salah seorang pendiri negeri ini. Disamping beliau juga adalah Pemimpin Besar yang kharismatik.

Akan tetapi mungkin tak banyak yang tahu, bahwa sukses gemilang Soekarno di pentas politik, pada awalnya tak lepas dari andil seorang wanita. Dialah Inggit Garnasih, istri Soekarno yang kedua, pada masa pergerakan merintis kemerdekaan Indonesia.

Inggit Garnasih lahir pada tanggal 17 Pebruari 1888, di desa Kamasan Banjaran Bandung. Putri dari pasangan Bapak Arjipan dengan Ibu Amsi. Pada masa kecil dia bernama Garnasih. Dia adalah gadis tercantik di desanya yang banyak disukai para pria. Konon mereka sangat senang jika Garnasih memberinya senyuman. Dan untuk itu tak segan menghadiahi Garnasih dengan uang seringgit. Dari kata seringgit itu lahirlah julukan “ Si Ringgit “ untuk Garnasih, yang kemudian menjadi “ inggit ”, dan selanjutnya diterapkan didepan namanya menjadi Inggit Garnasih.

Pada tahun 1900 saat Inggit Garnasih berusia 12 tahun, ia  dinikahkan dengan seorang Patih Kantor Residen Belanda bernama Nata Atmaja. Namun perkawinannya itu hanya berumur empat tahun. Ia kemudian menikah lagi dengan saudagar mebel bernama H.Sanusi. Rumah tangganya sempat berjalan mulus. Namun kemudian retak, gara-gara H.Sanusi sering keluyuran dan asyik di meja bilyar. Inggit kesepian sendiri di rumah.

Dalam pada itu datanglah seorang pemuda untuk kost di rumah Inggit. Pemuda itu ialah Soekarno dari Surabaya. Sebenarnya Soekarno datang dengan istrinya, Siti Utari putri HOS Tjokroaminoto - Pemimpin Sarekat Islam di Surabaya - namun karena tidak harmonis, Utari kemudian dicerai dan dikembalikan kepada orang tuanya. Tinggalah Soekarno sendiri kost di rumah Inggit. Adapun keperluan Soekarno di Bandung – tempat dimana rumah Inggit berada – adalah untuk sekolah di Technische Hoogeschool  ( sekarang Institut Teknologi Bandung ). H.Sanusi-lah yang membawanya ke rumah Inggit. Karena ia teman HOS Tjokroamonito, sesama orang Sarekat Islam.

Adalah wajar jika kemudian Inggit dan Soekarno saling tertarik. Inggit yang cantik dan keibuan kecewa dengan ulah suami yang seolah tidak memperhatikan. Sementara Soekarno yang tampan dan cerdas kesepian setelah bercerai dengan istrinya. Di sisi lain H. Sanusi sering tidak di rumah. Maka kesempatan Inggit dan Soekarno berduaan di rumah, memberi peluang untuk tumbuhnya asmara.  Diam-diam Inggit pun menjalin cinta dengan Soekarno.

Pada tahun 1923, Inggit bercerai dengan H.Sanusi. Kesempatan ini digunakan Inggit dan Soekarno untuk segera menikah. Maka pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 24 Maret 1923, Inggit dan Soekarno menikah. Saat itu usia Inggit 35 tahun dan Soekarno 22 tahun. H. Sanusi yang rupanya masih menaruh hati pada Inggit,  membuat perjanjian tertulis dengan Soekarno. Isinya menyatakan bahwa  jika  dalam 10 bulan Soekarno menelantarkan Inggit atau menyakitinya, maka Inggit harus dikembalikan kepada H. Sanusi.

Secara moril Inggit bahagia berumah tangga dengan Soekarno, karena Soekarno menyayanginya. Namun secara materil, ada yang berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan Inggit semasa dengan H.Sanusi. Waktu itu segala kebutuhan rumah tangga dicukupi oleh H.Sanusi, kini Inggitlah yang harus lebih berperan mencari nafkah, karena Soekarno masih fokus dengan studynya. Untuk itu Inggit berjualan jamu dan bedak hasil produksinya sendiri.

Pada tahun 1926 Soekarno selesai studynya dengan gelar Insinyur. Ia kemudian terjun ke kancah politik yang memang telah digelutinya sejak di bangku sekolah. Waktu itu kesadaran untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan Belanda sudah berkembang di orang-orang bumiputra, termasuk Soekarno. Soekarno yang memang berbakat dalam hal itu diakui kepiawaiannya. Ia berhasil mendirikan partai sebagai wadah perjuangan, yang kemudian membuat Pemerintah Kolonial Belanda merasa terusik.

Sebagai istri yang setia dan cinta pada suami, Inggit yang nota bene bukan wanita sekolahan, memahami keinginanan dan sepak terjang Soekarno. Ia mendukung sepenuhnya pergerakan yang dilakukan Soekarno dan kawan-kawannya.  Ia merelakan rumahnya dijadikan tempat pertemuan dan pembicaraan politik. Bahkan kadang-kadang ia pun turut serta didalamnya. Ketika Soekarno ditangkap Pemerintah Kolonial, ia setia membesukinya ke penjara menjadi kurir, membawakan buku-buku.  Dan yang tak kalah pentingnya memberikan dorongan moril – materil, serta mengobarkan semangat kepada sang suami.

Pada tahun 1931Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores.Inggit dengan setia mendampingi Soekarno di pembuangan. Sebuah tempat yang sama sekali asing dan penuh penderitaan. Dari Ende, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu karena sakit. Inggit tetap setia mendampingi. Begitulah bertahun-tahun Inggit hidup di pembuangan menemani suami tercinta. Baginya, berada di sisi Soekarno adalah sebuah kebahagiaan, meski dalam keadaan sesulit dan sepahit apa pun.

Akan tetapi badai pun akhirnya datang menerpa. Hati Inggit terguncang dan sakit, ketika di  Bengkulu Soekarno kepincut seorang gadis cantik yang dikemudian hari bernama Fatmawati. Gadis ini sebenarnya sudah diperlakukan seperti  anak oleh Inggit. Usianya 22 tahun lebih muda dari Soekarno. Dengan alasan ingin punya anak, Soekarno minta ijin kepada Inggit untuk menikahi gadis ini. Inggit menolak, bagaimana pun ia tak mau Soekarno berbagi cinta.

Soekarno tetap mendesak meski Inggit bersikeras tak  mau dimadu. Inggit  memberi  pilihan : tetap bersamanya atau bercerai. Ternyata Soekarno memilih bercerai. Sejak itu retaklah rumah tangga Inggit yang dibangun begitu lama dengan banyak pengorbanan. Sekembalinya di Bandung pada tahun 1943, Inggit dicerai oleh Soekarno.

Seperti yang tercatat dalam sejarah, tahun 1945 setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, dengan Fatmawati sebagai Ibu Negara-nya. Waktu itu Inggit Garnasih hidup dengan anak angkatnya, karena ia tak dikarunia keturunan. Ia kembali berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konon selama jadi Presiden, Soekarno pernah sekali  ( tahun 1960 )  mengunjunginya dan minta maaf. Begitu pun dengan Fatmawati. Inggit mengatakan ia sudah memaafkannya sejak dulu.

Inggit Garnasih wafat pada tanggal 13 April 1984  dalam usia 96 tahun. Sebelumnya ia sempat melayat Soekarno ketika mantan suaminya itu wafat tahun 1970. Sebagai penghormatan dari negara, Inggit menerima  “ Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan”  dari Presiden Soekarno ( tanggal 17 Agustus 1961 ), dan “ Bintang Mahaputra Utama “ dari Presiden Soeharto ( 11-8-1997 ). Dan untuk mengenangnya, nama jalan di depan  rumahnya diganti dari Jalan Ciateul menjadi Jalan Inggit Garnasih…*

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM
Disarikan dari berbagai sumber.

KEN DEDES SANG NARESWARI


Patung yang anggun ini diklaim sebagai patung Ken Dedes, meski ada juga yang menyanggahnya. Siapa Ken Dedes ? Nama Ken Dedes dikaitkan dengan  Ken Arok,  pendiri kerajaan Tumapel di Jawa Timur pada abad ke 13 Masehi, tepatnya tahun 1222. Konon nama Ken Dedes tidak ada dalam bukti peninggalan sejarah. Nama ini hanya ada dalam pararaton, yaitu cerita kuno semacam pantun atau dongengan. Apa yang menarik dari Ken Dedes ? Ternyata ia seorang wanita yang merupakan  leluhur raja-raja penguasa di Jawa.

Menurut pararton itu, Ken Dedes adalah wanita cantik putri seorang pendeta Budha bernama Empu Purwa dari desa Panawijen. Pada suatu hari ketika ia sedang menunggui rumah, karena sang ayah pergi bersemedi, datanglah tamu dari Tumapel. Tamu itu tak lain seorang  Akuwu,  bernama Tunggul Ametung.

Melihat Ken Dedes yang  cantik jelita dan masih belia, Tunggul Ametung langsung tertarik dan jatuh hati. Ia kemudian menyatakan ingin melamar bidadari Panawijen itu. Ken Dedes menolak, bukan saja karena Tunggul Ametung sudah tua, tapi juga karena ia harus menunggu sang ayahanda untuk memnta restu. Tapi Tunggul Ametung tak sabar. Ia memaksa dan nekad menculik Ken Dedes. Putri itu  dibawanya ke Tumapel, dan dinikahi, meski yang bersangkutan tak sudi. 

Dalam pada itu tersebutlah seorang pemuda bernama Ken Arok.  Pemuda ini seorang berandalan yang bertabiat buruk. Ia seorang penjudi, perampok, dan pengacau. Tunggul Ametung sebagai penguasa yang daerahnya diganggu, kewalahan menanganinya. Untunglah Ken Arok dapat “dijinakkan” oleh seorang pendeta bernama Lohgawe. Atas permintaan pendeta itu, Ken Arok kemudian mengabdikan diri pada Tunggul Ametung. Dan selanjutnya ia tinggal di lingkungan keakuwuan. 

Dengan hadirnya Ken Arok,  otomatis terjadi pertemuan antara Ken Dedes dengan ponggawa suaminya itu. Tapi karena status sosial,  Ken Dedes tidak begitu hirau. Sebaliknya Ken Arok jadi bertepuk tangan sendiri, karena ia tertarik dan jatuh cinta. Ibarat peribahasa pungguk merindukan bulan.

Pada suatu hari terjadilah hal yang dianggap luar biasa oleh Ken Arok. Waktu itu ia sedang berjaga menjalankan tugasnya sehari-hari. Tiba-tiba datanglah Ken Dedes bersama Tunggul Ametung baru pulang dari bepergian naik kereta kencana. Ketika Ken Dedes turun dari kereta, kainnya tersingkap sehingga betisnya tampak dan terlihat jelas oleh Ken Arok. Ken Arok terpana, bukan saja karena betis itu indah, tapi juga dari betis itu terpancar cahaya  yang menyilaukan. Sesuatu yang sungguh  menakjubkan.

Pengalaman ini diceritakan oleh Ken Arok kepada Pendeta Lohgawe. Kata Pendeta Lohgawe, betis yang bercahaya itu menandakan bahwa Ken Dedes adalah seorang Putri Nareswari.  Artinya, siapa pun yang menjadi suaminya bakal menjadi raja yang berkuasa.

Mendengar penjelasan ini timbulah motivasi dan niat jahat Ken Arok. Ia ingin merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Caranya apa lagi kalau bukan membunuh majikannya itu. Untuk niatnya ini ia memesan keris kepada Empu Gandring. Konon menurut pararaton, dengan keris buatan Empu Gandring itu Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung lewat cara-cara licik dan licin. Dan akhirna tercapailah keinginannya,  Ken Arok berhasil mempersunting Ken Dedes sebagai istrinya. 

Benar kata Pendeta Lohgawe, setelah menikahi Ken Dedes, Ken Arok berubah nasibnya. Mula-mula ia berhasil menjadi Akuwu Tumapel menggantikan Tunggul Ametung. Setelah itu ia mendirikan kerajaan Tumapel, dan ia sendiri yang bertakhta dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Terakhir ia berhasil memperluas daerah kekuasaannya, dengan menaklukan kerajaan Daha ( Kediri ) yang selama ini menguasai Tumapel. Lengkaplah apa yang dicita-citakan Ken Arok.

Dari pernikahannya dengan Ken Arok, Ken Dedes mempunyai tiga orang putra dan seorang putri. Sedangkan dari Tunggul Ametung mempunyai seorang putra bernama Anusapati. Seperti yang dicatat sejarah, Tumapel kemudian dikenal dengan nama Singhasari dengan rajanya Kertanegara. Singhasari kemudian tumbang pada tahun 1292 akibat kalah perang.  Dan setelah itu munculah Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya. Sejarah juga mencatat Majapahit tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa di Nusantara. Nah, raja-raja penguasa itu semuanya keturunan Ken Dedes…* 

SIKEMAYU.BLOGSPOT.COM